Chichchore (2019); Memaknai Kembali Arti
Kecerdasan dan Sekolah Favorit
Oleh: Humyaratul Khairiyah
Anak anda akan mengikuti tes masuk
perguruan tinggi. Anda dan pasangan anda dikenal sebagai orang cerdas. Tak mau
terlihat sebagai pecundang, anak anda
kemudian belajar bagai kuda. Ia belajar 18 jam setiap harinya. Ia menunda
liburan, nonton TV, nongkrong dengan teman-teman, dll. Ia berdoa siang malam.
Lalu saat tes datang, ia masih saja belajar dan belajar. Dan tibalah saatnya
hasil tes diumumkan. BOOM! Ia tidak lulus. Gagal, bodoh, pecundang, itulah yang
ada dalam pikirannya. Lalu ia merasa tidak sanggup dan malu menghadapi
semua dan langsung memilih bunuh diri
saat itu juga.
Apa yang anda bayangkan ketika mendapati
kondisi seperti di atas? Siapa yang paling bertanggung jawab atas kematian si
anak tadi? Tidak lain tidak bukan adalah KITA; orangtua, guru, masyarakat yang
telah salah memaknai arti kecerdasan seorang anak.
Cerita di atas adalah cerita Raghav
(Mohammad Shamad) dalam film Chichchore (2019).
Raghav punya ayah bernama Annirudh (Sushant Singh Rajput) dan ibu
bernama Maya (Shradda Kapoor). Mereka dikenal pintar. Semua orang tahu itu.
Tapi Raghav malah gagal masuk PTN favorit seperti ayah dan ibunya setelah
melakukan usaha keras. Merasa gagal dan bodoh, ia langsung terjun dari
apartemen temannya setelah mendapati hasil ujian tidak lolos.
Masalah klasik, bukan? Bagaimana sebuah
tes merenggut sebuah nyawa? Tapi soal nyawa tidak bisa diabaikan begitu saja,
apalagi nyawa menghilang akibat proses pendidikan yang aneh bin ajaib itu. Di
India, kasus bunuh diri seperti ini memang tinggi. Lalu bagaimana bisa kita
mengabaikan persoalan ini?
Kecerdasan selalu dimaknai sebagai
sesuatu yang statis. Kalau anda tidak bisa mengerjakan soal hari ini, maka itu
artinya anda bodoh. Besok, lusa atau tiga tahun lagi akan tetap seperti itu.
Bodoh. Dengan pengertian dan pelekatan label seperti ini, anakpun akhirnya juga
melabeli dirinya dengan begitu sehingga ia berhenti belajar. Ia berhenti
menemukan kecerdasan yang ia miliki. Sehingga satu tes saja sudah cukup
membuktikan bahwa masa depan mereka akan suram.
Kecerdasan seseorang itu selalu
berkembang (dinamis), tidak statis, kata Howard Gardner. Tes yang dilakukan
hanya menilai kecerdasan seseorang saat itu juga, tidak satu bulan lagi atau
sepuluh tahun lagi.
Karena itu, Gardner menemukan teori
Multiple Intelligences yang menyatakan bahwa ada begitu banyak jenis
kecerdasan, awalnya cuma enam, kemudian bertambah jadi sembilan. Kecerdasan itu
adalah linguistik, logis matematis, spasial visual, musik, kinestetik,
interpersonal, interpersonal, naturalis, eksistensialis. Alangkah tidak adilnya
jika anak-anak yang punya kecerdasan berbeda-beda tapi diuji dengan satu tes
kognitif saja. Everybody is genius, but if you judge a fish by its' ability to
climb a tree, it will live its' whole life believing that it's stupid. Kata
Einstein sejak dahulu kala.
Jika dipaksakan juga anak-anak untuk
melakukan apa yang tidak sesuai dengan kecerdasan dan keinginannya, maka yang
terjadi adalah orang-orang seperti Joy Lobo di film 3 idiots (2001) atau Neil
Perry di film Dead poets society (1983)
dan Raghav di film Chichchore ini.
Kasus bunuh diri karena tidak lulus ini
sebenarnya bukan hal baru. Di Indonesia, kasus bunuh diri karena tidak lulus UN
saja sangat banyak. Beruntung Pak Menteri sudah menghapuskan UN untuk 2021,
bahkan penghapusan UN jauh lebih cepat karena pandemi ini. Lalu apa gunanya
pendidikan kalau sudah begini? Pendidikan seperti apa yang telah kita tanamkan
pada anak-anak?
Beruntung ayah Raghav cepat menyadari
bahwa yang ia lakukan selama ini salah, ia hanya memberitahu Raghav untuk
merayakannya bila ia lulus, namun tidak mengatakan apa yang akan dilakukan bila
ia tidak lulus. It sounds familiar, isn't it? Adalah sebuah kebiasaan bagi kita
untuk memberi hadiah bagi sebuah kelulusan tapi tidak menyiapkan apa-apa bila
anak-anak tidak lulus. Sikap empati pun tidak. Bahkan kebanyakan malah mengatai
anak yang tidak lulus itu dengan sebutan bodoh.
Di film ini, anak-anak juga sangat
bersemangat melakukan tes karena iming-iming perguruan tinggi favorit. Ini
adalah perguruan tinggi yang diidam-idamkan semua orangtua meskipun tidak semua
anak-anak menginginkannya. Masuk PTN favorit artinya peluang kerja semakin
banyak dan mudah. Bila masuk ke perguruan tinggi ini, itu berarti mereka juga
dikategorikan sebagai anak cerdas. Dari 10.000 orang yang mendaftar, hanya
diterima ratusan orang. Lalu bagaimana dengan yang lain?
Sekolah atau PTN favorit juga sering
disalahpahami sebagai the best input. Anak-anak yang sudah tersaring dan masuk
ke sekolah itu adalah anak-anak yang sudah pintar secara kognitif. Setelah itu,
yang terjadi adalah hegemonitas. Tapi apakah hegemonitas ini, baik? Tidak juga.
Penelitian membuktikan bahwa hegemoni ini membuat anak-anak tertekan karena
anak-anak yang ketinggalan pelajaran akan merasa bodoh lalu timbullah tekanan
untuk mengejar ketertinggalan itu. Bila ia tetap tertinggal, tingkat stres pun
bertambah. Silakan bayangkan apa yang akan terjadi pada anak-anak yang stres.
Sudah saatnya makna sekolah favorit
dialihkan dari the best input menjadi the best process. The best process
maksudnya sekolah harus fokus pada kualitas proses pembelajaran, bukan input
siswanya. Sekolah favorit artinya sekolah itu berhasil menjadikan anak-anak
yang awalnya negatif menjadi positif, meskipun input siswanya berbeda-beda.
Saat itu terjadi, barulah kita menemukan yang namanya arti pembelajaran. Di
sanalah kita bisa menemukan bahwa pendidikan memang memanusiakan manusia. Tapi
ketika yang terjadi malah sebaliknya, di situlah kita harus memaknai kembali
arti dari pendidikan.
Film ini juga bercerita tentang
persahabatan yang penuh permasalahan. Saya suka sekali kisah persahabatan yang
ditampilkan dalam film ini. Jika biasanya seorang anak pintar dan baik-baik
hanya mau bergaul dengan anak pintar dan baik pula, maka di film ini yang
terjadi adalah sebaliknya, seorang anak pintar dan baik-baik (Anni), lebih
memilih tinggal di asrama yang sering dianggap hanya berisi para pecundang; ada
yang pecandu alkohol, pengoleksi film porno, pengumpat, namun ketika salah satu
dari mereka membutuhkan yang lain, mereka akan berada di garda terdepan untuk
membantu. Sahabat rasa keluarga. Itulah inti persahabatan mereka. Seperti yang
terjadi ketika Raghav masuk rumah sakit karena bunuh diri, semua sahabat Anni
meninggalkan pekerjaan hanya untuk membantu Raghav supaya segera pulih.
Film yang disutradarai oleh Nitesh
Tiwari ini --juga sutradara film Dangal-- ini memakai alur maju mundur, tapi
itu tidak mengurangi menariknya isi cerita, malahan kekonyolan-kekonyolan
mereka akan membuat kita tertawa lepas. Oiya, Shradda Kapoor cantik sekali di
film ini. Masih sangat cocok memerankan anak kuliahan.
Saya menonton film ini setelah mendengar
kematian Sushant Singh Rajput beberapa Minggu yang lalu. Kematian yang
memilukan bagi saya, sebab ia meninggal karena bunuh diri. Depresi. Begitu
informasi dari dokter. Padahal ia adalah salah seorang aktor yang punya bakat
hebat, tapi saat menonton film ini, saya langsung relate dengan kematian
beliau. Ada satu quote yang paling melekat di otak saya dalam film. Satu quote
yang seharusnya diamalkan oleh Sushant dalam kehidupannya.
"Kita terlalu memikirkan
menang-kalah, sukses dan gagal, hingga kita lupa cara menjalani hidup. Padahal
yang paling terpenting dalam hidup ini adalah hidup itu sendiri."
Gambar: tribunnewswiki.com
Posting Komentar
Posting Komentar